HOTLINE: +62877-3717-4847 atau +62857-1021-5933

DISABILTAS DALAM KEPARIWISATAAN

Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan). Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha Pasal 1 angka 4 UU Kepariwisataan).

Ada hal yang penting dan perlu digarisbawahi dari UU Kepariwisataan seperti di atas adalah pemahaman tentang “…pariwisata… sebagai wujud kebutuhan setiap orang…”. Bahwa wisata merupakan kebutuhan paling hakiki dari setiap orang yang wajib untuk dapat terpenuhi.

Lebih tegas UU Kepariwisataan menyatakan pada Pasal 3 bahwa “Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.” Serta pada Pasal 5 huruf b yaitu “Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.”

Hal ini mengemuka saat berdiskusi dengan beberapa teman yang kemudian menggagas hadirnya komunitas Solo Barrier Free Tourism (SBFT) 2018. Dorongan munculnya komunitas karena selain ditetapkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, juga kota Solo sudah menyandang sebagai kota difabel serta tujuan wisata.

Sebelum bicara tentang kepariwisataan kota Solo dalam menanggapi UU Disabilitas tersebut, ada baiknya mencoba untuk melihat aturan-aturan hukum yang terdapat dalam undang-undang yang berkaitan dengan kepariwisataan dan disabilitas. Pasal 1 angka 1 UU Disabilitas mengatur “Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”

Ada hal yang menarik dari isi pasal ini, yaitu pada aspek “jangka waktu lama” saat seseorang mengalami keterbatasan fisik. Jika melihat dari sisi kesehatan, gangguan keterbatasan fisik dapat terjadi dalam waktu yang singkat (temporer). Disekelilingi kita sering dijumpai orang yang mengalami keterbatasan fisik akibat kecelakaan dan bisa pulih kembali.

Bandingkan dengan UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang sudah dicabut tersebut. Dimana pasal 1 UU Penyandang Cacat tersebut justru tidak mengatur “jangka waktu”. Sehingga dikhawatirkan UU Disabilitas yang baru menjadi bias tentang siapa yang bisa disebut Penyandang Disabilitas tersebut, dikarenakan dalam Penjelasan UU Disabiitas tersebut tidak menjelaskan/mengatur secara rinci.

Pasal 5 ayat (1) huruf k UU Disabilitas menegaskan “Penyandang Disabilitas memiliki hak kebudayaan dan pariwisata”. Mendukung pasal ini bisa dilihat pada Pasal 6 UU Kepariwisataan yang mengatur “Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.”

UU Disabilitas dengan tegas mengatur tentang Hak Kebudayaan dan Pariwisata yaitu “Hak kebudayaan dan pariwisata untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a). memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya; b). memperoleh Kesamaan Kesempatan untuk melakukan kegiatan wisata, melakukan usaha pariwisata, menjadi pekerja pariwisata, dan/atau berperan dalam proses pembangunan pariwisata; dan c). mendapatkan kemudahan untuk mengakses, perlakuan, dan Akomodasi yang Layak sesuai dengan kebutuhannya sebagai wisatawan.”

Tentu saja persoalan yang paling mendasar dalam pemenuhan hak anggota masyarakat penyandang disabilitas adalah masalah akses untuk menuju ke lokasi wisata. Akses atau aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan, termasuk saat memenuhi kebutuhan akan berekreasi/berwisata. Bahkan dalam UU Disabilitas pada Pasal 18 mengatur “Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak: a). mendapatkan Aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik; dan b). mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai bentuk Aksesibilitas bagi individu.

Persoalan aksesibilitas dipertegas sebagai kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang diatur dalam Pasal 85 UU Disabilitas pada ayat (1) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin Aksesibilitas bagi Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan layanan kebudayaan dan pariwisata.” Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan insentif kepada perusahaan pariwisata yang menyelenggarakan jasa perjalanan wisata yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas (Pasal 86 ayat (1) UU Disabilitas).

Sementara itu pemahaman Layanan Priwisata sebagaimana ditegaskan pada Pasal 85 ayat (1) diatur pada Pasal 85 ayat (2) yang menjelaskan “layanan pariwisata yang mudah diakses bagi Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a). tersedianya informasi pariwisata dalam bentuk audio, visual, dan taktil; dan b). tersedianya pemandu wisata yang memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan objek wisata bagi wisatawan Penyandang Disabilitas netra, memandu wisatawan Penyandang Disabilitas rungu dengan bahasa isyarat, dan memiliki keterampilan memberikan bantuan mobilitas”. Adapun yang dimaksud dengan “taktil” adalah informasi dalam bentuk sentuhan atau rabaan, misalnya huruf atau lambang timbul.

Berkaitan dengan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas tentu yang harus menjadi perhatian adalah infrastruktur penyundang pariwisata. Diantaranya bangunan hotel, tempat tujuan wisata, jalan, kamar mandi umum hingga tempat makan maupun penjualan oleh-oleh. Ternyata ada beberapa peraturan yang menegaskan bagaimana infrastruktur penunjang pariwisata yang harus “ramah difabel”. Diantaranya pada Pasal 97 ayat (1) UU Disabilitas yang mengatur “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas.”

Pasal 97 ayat (2) mengatur “Infrastruktur yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a). bangunan gedung; b). jalan; c). permukiman; dan d). pertamanan dan permakaman”.  Pasal 98 ayat (1) UU Disabilitas mempertegas bahwa “bangunan gedung yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) huruf a memiliki fungsi: a). hunian; b). keagamaan; c). usaha; d). sosial dan budaya; e). olahraga; dan f). Khusus”. Yang dimaksud dengan “fungsi usaha” adalah bangunan gedung yang mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan kegiatan usaha yang meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan (Penjelasan Pasal 97 ayat (2)).

Ternyata didalam UU Disabilitas tersebut juga diatur sanksi bagi pengelola gedung yang tidak memenuhi aturan Pasal 97 ayat (2). Semua tentang sanksi diatur dalam Pasal 98 ayat (3) dimana dipertegas “Pemilik dan/atau pengelola bangunan gedung yang tidak menyediakan fasilitas yang mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a). peringatan tertulis; b). pembatasan kegiatan pembangunan; c). penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; d). penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; e). pembekuan izin mendirikan bangunan gedung; f). pencabutan izin mendirikan bangunan gedung; g). pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; h). pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau i). perintah pembongkaran bangunan gedung.

Persoalan infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas juga diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor : 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung. Pasal 1 nomor 5 yang mengatur “Kelengkapan Prasarana dan Sarana Pemanfaatan Bangunan Gedung adalah penyediaan fasilitas pada bangunan gedung dan lingkungan yang sesuai kebutuhan seluruh kelompok usia dan kondisi keterbatasan fisik, mental, dan intelektual, atau sensorik berdasarkan fungsi bangunan gedung untuk memberikan kemudahan bagi pengguna dan pengunjung dalam beraktivitas pada bangunan gedung.”

Permen PUPR tersebut juga mengatur pada Pasal 1 nomor 10 yang mengatur “Bebas Halangan (barrier free) adalah kondisi bangunan gedung dan lingkungan tanpa hambatan fisik, informasi, maupun komunikasi sehingga semua orang dapat mencapai dan memanfaatkan bangunan gedung dan lingkungannya secara aman, nyaman, mudah, dan mandiri”. Juga diatur dalam Pasal 1 nomor 11 yang juga mengatur “Desain Universal (universal design) adalah rancangan bangunan gedung dan fasilitasnya yang dapat digunakan oleh semua orang secara bersama-sama tanpa diperlukan adaptasi atau perlakuan khusus.”

Sehingga jelas bahwa bicara tentang infrastruktur kepariwisataan bagi penyandang disabilitas tidak bisa ditunda dalam implementasi pelaksanaannya. Bahkan UU Penyandang Disabilitas dengan tegas menyatakan pada Pasal 152 yang menekankan “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Adapun UU Penyandang Disabilitas sendiri ditetapkan pada tanggal 15 April 2016.

Adapun saat ini kendala di bidang infrastruktur, terutama di Solo dari kaca mata Komunitas SBFT’18 sedikit banyak mulai dapat diatasi. Namun masih ada beberapa bangunan gedung yang belum “ramah difabel”. Diantaranya adalah hotel (terutama bintang 3 ke bawah), lokasi wisata, transportasi lokal, jalan dan tempat oleh-oleh maupun warung makan.

Selain itu obyek wisata di seputaran Solo Raya juga masih banyak yang belum mudah diakses oleh penyandang disabilitas, terutama kawasan wisata cagar budaya seperti candi, museum, dan beberapa lokasi wisata lainnya. Tidak harus bangunan obyek wisata harus dilakukan perubahan secara mencolok agar dapat diakses. Tentu saja bisa-bisa nanti bertentangan dengan peraturan lain, misal UU Cagar Budaya.

Namun akses itu bisa diwujudkan dalam bentuk lain seperti halnya diatur dalam Pasal 85 ayat (2) yaitu tersedianya informasi pariwisata dalam bentuk audio, visual, dan taktil. Misal dibuatkan dalam bentuk media layar sentuh (touchscreen), audio-visual yang didalamnya juga disiapkan huruf braile.

Tentu saja disini diperlukan keterbukaan dan kebersamaan antara pemangku kepentingan baik Pemerintah Daerah, Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), ASITA serta Himpunan Pemandu wisata Indonesia (PHI/guide). Bersama SBFT’18 bisa mendiskusikan langkah-langkah kongkrit untuk menyiapkan kepariwisataan Solo yang ramah difabel.

Sehingga Solo menjadi kota ramah difabel sekaligus tujuan wisata nasional/internasional dapat terwujud. Jika merujuk dari WHO bahwa rata-rata penduduk penyandang disabilitas 10%-15% dari total penduduk di suatu negara. Sehingga diperkirakan penduduk penyandang difabilitas di Indonesia populasinya sekitar 25 juta. Andai 1% saja yang datang ke Solo, ada potensi wisatawan difabel sebesar 250.000 jiwa. Sesuatu yang tidak sedikit jika benar-benar dikelola dengan baik.

Oleh :
Bambang Ary Wibowo
Pemerhati Kebijakan Publik
Dan Pegiat Kepariwisataan

Share this :